Minggu, 03 Mei 2009

Hari Pendidikan Nasional Tercemar

HARI PENDIDIKAN NASIONAL
DICEMARI OLEH UJIAN NASIONAL (UN)

Dimana-mana hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mai 2009 diperingati dengan meriah. Bahkan RCTI dalam rangka Kemilau Bank Mandiri menghadirkan para guru teladan dan siswa-siswa terbaik. Seharusnya kita berbangga pada hari Pendidikan Nasional tersebut dengan berbagai prestasi yang diraih oleh para siswa terbaik. Akan tetapi kita bersedih dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang berakhir pada tanggal 2 Mei 2009 tersebut (UN berakhir tanggal 30 April dan disusul US tanggal 1 dan 2 Mai 2009, untuk SMP). Tentu para pembaca bertanya-tanya kenapa bersedih dengan pelaksanaan Ujian Nasional dan Ujian Sekolah (SMA dan SMP)? Mungkin sudah rahasia umum, bahwa yang ujian bukan hanya siswa tetapi juga guru, karena yang menjawab soal-soal tersebut adalah guru dan siswa tinggal membulat-bulatkan saja pada lembaran jawaban. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan pada waktu UN berlangsung, ternyata yang sibuk adalah Guru, waakil kepala sekolah dan kepala sekolah sedangkan siswa santai saja dan bahkan ada di antara mereka yang tidak mau belajar, katanya: jawabannya nanti akan diberikan juga oleh guru dengan berbagaimacam cara. Mulai dari SMS, kertas kecil-kecil yang sudah diisi jawaban dan bahkan ada guru yang mendiktekan jawabannya di hadapan kelas. Guru menyebutkan A, B, C dan sebagainya. Apakah pembaca tidak bersedih? Bahkan sangat mengerikan!!! Yang menjadi tanda tanya bagi kita kenapa guru mau melakukan hal tersebut? Ada yang menjawab, kalau banyak siswanya yang tidak lulus tentu Bapak Walikota atau Bupati akan memarahi Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Pendidikan akan memarahi Kepala Sekolah, Kepala Sekolah akan memarahi Wakil Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah akan memarahi guru. Guru siapa lagi yang akan dimarahinya? Apakah siswa? Siswa sekarang tidak mau lagi dimarahi, karena dia sudah tahu dia nanti akan ditunjukan juga dalam ujian, karena siswa tahun lalu juga demikian. Akhirnya terjadilah kesepakatan, agar tidak ada yang dimarahi maka dilakukanlah berbagai macam cara agar siswa-siswa lulus semuanya.
Dalam hal ini siapa yang disalahkan? Apakah guru, wakil kepala sekolah, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, bupati/walikota, gubernur, atau mentri pendidikan nasional? Ini seperti menghesta kain sarung ( sudah seperti lingkaran setan). Barangkali pandangan terhadap UN harus dirobah. UN bukan segala-galanya. Pemerintah jangan menjadikan UN untuk ukuran keberhasilah suatu sekolah. Kalau memang Ujian Nasional menjadi patokan suatu sekolah tentu pemerintah harus menyiapkan Sarana dan Prasarana yang berstandar Nasional di seluruh sekolah, baik swasta ataupun negeri. Juga harus disiapkan guru yang berstandar nasional dari pusat sampai ke pelosok desa. Kalau sarana dan prasarana serta guru-gurunya di kota sudah berstandar Internasional, sementara sekolah di desa yang jauh dipelosok tidak punya listrik, laboratorium, perpustakaan dan guru tidak cukup serta tidak berkualitas. Apakah adil namanya kalau soal ujian sama antara siswa yang di desa dengan siswa yang di kota? Ini sangat tidak adil.!! Sementara masyarakat, mungkin juga pemerintah memandang UN ini menjadi ukuran keberhasilan suatu sekolah, sehingga berbagaimacam cara dilakukan untuk meluluskn siswanya dalam UN. Barangkali perlu dilakukan kajian ulang terhadap UN. Mungkin perlu mempertimbangkan penilaian proses pendidikan suatu sekolah, tidak hanya UN saja. Untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi barangkali perlu dilakukan tes dengan soal yang bervariasi, tidak hanya pilihan ganda saja, tentu ada soal esai. Patokan bukan hanya UN saja. Terimakasih